Membumikan Ekspektasi Publik Terkait Kecerdasan Buatan

Penulis : Rizal Sidik – Universitas Pamulang – Tangerang

Kemunculan konsep kecerdasan buatan pertama kali ditemukan setelah Perang Dunia II oleh seorang matematikawan dan filsuf muda bernama Alan Turing pada 1947. Alan turing beraggapan bahwa jika manusia bisa mengolah informasi dan memecahkan masalah juga membuat keputusan dari informasi tersebut, maka mesin juga bisa melakukannya. Dilansir dari Science in the News, dari kerangka logis tersebut Alan Turing membuat suatu makalah pada 1950 tentang bagaimana membangun mesin cerdas dan cara menguji kecerdasan mereka. Sejak saat itulah artificial intelligent berkembang pesat hingga sekarang. Saat ini komputer telah menggunakan kecerdasan buatan berdasarkan pemrograman logika. Di mana komputer dapat mengolah stimulasi yang diberikan manusia menjadi suatu keputusan berdasarkan ahli. Perkembangan teknologi komputer terus melaju begitu pesat, baik dari segi perangkat lunak maupun perangkat kerasnya saling berlomba untuk saling mengisi. Dalam perkembangannya, komputer difungsikan sebgai alat pengolah data dan penghasil informasi bahkan turut berperan dalam hal pengambilan keputusan. Para ahli komputer terus berlomba menciptakan inovasi dibidangnya dengan harapan kecanggihan penemuannya memiliki kemampuan seperti manusia. Hal ini tentunya bukanlah angan semata sebab di era sekaran komputer cerdas atau yang lebih dikenal dengan kecerdasan buatan dalam istilah lain disebut Artificial Intelligence telah banyak kita jumpai di berbagai bidang tak terkecuali bidang industri. Berdasarkan jurnal karangan (Nasri, 2014) dapat di simpulkan kecerdasan buatan merupakan bagian dari ilmu computer yang mempelajari bagaimana suah mesin dapat melakukan pekerjaan layaknya manusia. Perkembangan AI yang begitu pesat menyebabkan perluasan ruang lingkup yang membutuhkan kehadirannya.

Kecerdasan buatan tidak hanya untuk bidang keilmuan computer saja namun kini mulai berkembang ke bidang keilmuan yang lainnya. Teknologi kecerdasan buatan mampu memberikan solusi yang terkadang sulit dipercaya namun hanya bersifat semu karena hanya memberikan kemajuan evolusioner dan bukan kemajuan evolusioner dikutip dari jurnal karangan (Kusumawati, 2018). Industri 4.0 berkaitan dengan inovasi kreatif dengan kombinasi inovasi melalui aplikasi mobile, cloud computing, dan big data yang berkolaborasi menciptakan konsep baru untuk proses industri dan mulai menggeser model pasar ke era persaingan dan diferensiasi produk.

Industri 4.0 mewakili pergeseran menuju ekonomi digital sebagai konsep yang terpusat dan saling terintegrasi. Hal ini tentunya mempengaruhi alur proses bisnis serta sebagai langkah awal menuju era baru digitalisasi. Dan teknologi kecerdasan buatan merupakan suatu teknologi yang mempesona dan luar biasa ini menimbulkan banyak sekali pro dan kontra karena ada yang menganggap kehadiran teknologi cerdas ini dapat meringankan pekerjaan sehari-hari atau bahkan merenggut profesi sebagian orang oleh karena itu menarik untuk dikaji dan dipelajari.

Peran manusia di dunia pekerjaan digadang-gadang akan tergantikan oleh kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). Saat ini banyak sekali perusahaan yang telah memikirkan tentang jenis pekerjaan apa yang suatu hari nanti dapat hilang dengan adanya Artificial Intelligence.  Hampir 38% perusahaan besar telah memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence menurut data survey narrative science tahun 2016. Angka tersebut meningkat hingga 62% pada tahun 2018. Awalnya Artificial Intelligence hadir untuk mempermudah pekerjaan sehingga pekerjaan lebih efektif dan efisien. Seiring dengan terus berkembangnya kecanggihan serta kemampuannya beberapa perusahaan melihat potensi lain yang dapat digali lebih dalam.

Manusia dapat menyelesaikan segala permasalahanya didasarkan dari pengalaman serta pengetahuan yang dimilikinya sedangkan kecerdasan buatan terbatas kemampuannya karena didasarkan dari kode program yang tertanam dan tentunya tidak bisa mengatasi problem solving pada dirinya sendiri. Sebenarnya kecerdasan buatan itu tidak buruk dan juga baik semuanya tergantung bagaimana cara menggunakannya dan tingkat keperluannya, jika kita bijak dalam penggunaannya tentu tidak ada pihak yang merasa di diskriminasi akan kehadirannya. Kecerdasan buatan bukanlah segalanya lambat laun suatu produk akan mengalami kegagalan fungsi yang mana membutuhkan kecerdasan dari manusia untuk memperbaikinya oleh karena itu tidak semua lapangan pekerjaan dapat digantikan oleh produk kecerdasan buatan. Oleh sebab itu manusia harus berusaha lebih dalam menggali segala potensi yang ada dalam diri serta mengembangkannya menjadi suatu yang luar biasa sehingga mampu bersaing dan bersinergi dalam perubahan pola industri.